Pages

Sunday, August 28, 2016

Kekayaan tidak membawa mudharat bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT

Kekayaan tidak membawa mudharat bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah  SWT
Dalam dunia Islam, Nabi Sulaiman kaya dengan menjadi raja, maka Nabi Yusuf kaya dengan menjadi menteri. Sementara itu, Nabi Muhammad sendiri kaya dengan menjadi entrepreneur. Ternyata inilah cara paling masuk akal bagi seluruh umat manusia di segala zaman untuk mendapatkan kekayaan.yap, dengan menjadi entreprenuer.
Nabi Muhammad bukanlah contoh satu-satunya. Turut serta pula istri dan sahabat-sahabatnya. Sebut saja, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Mushab bin Umair. Mereka benar-benar entrepreneur! Dan mereka benar-benar kaya! Bahkan Abdurrahman bin Auf karena keahlian dan kekayaannya sebagai entrepreneur, pernah ditugasi untuk mengimbangi dominasi kaum Yahudi di pasar Madinah.
Selain mendapatkan kekayaan dari perniagaan, Nabi Muhammad juga mendapatkan kekayaan dari pernikahan dengan Siti Khadijah dan kenabiannya, berupa fai, al-shafi, dan al-sahm. (Untuk lebih jelasnya mengenai istilah-istilah ini, silahkan baca literatur-literatur lainnya). Dan itu semua belum termasuk hadiah-hadiah berharga dari pembesar-pembesar yang dikirimkan kepadanya, persis seperti yang diceritakan oleh pakar ekonomi syariah, Syafii Antonio, dalam sebuah bukunya.
Apabila dirupiahkan untuk konteks sekarang, maka Nabi Muhammad adalah seorang miliarder. Betul sekali, seorang miliarder. Kalaupun ia pernah miskin, itu pin hanya beberapa tahun saja. (ironisnya, sisi inilah yang selalu diekspos sejak zaman penjajahan dulu sampai sekarang).
“Kekayaan tidak membawa mudharat bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT.” Itulah salah satu pesan penting Sang Nabi. Kenapa? Karena kekayaan dapat memudahkan kita dalam beribadah. Misalnya saja, untuk berjihad, bersedekah, berzakat, berhaji, berumrah, menafkahi keluarga, mencukupi kebutuhan ahli waris, mencari guru-guru (mursyid), menuntut ilmu, menegakkan ekonomi syariah, membangun sarana umat, dan meningkatkan bargaining position umat.
Nabi Muhammad pernah ditopang kekayaan dalam berdakwah. Di antaranya, ia punya unta dari jenis terbaik (al-qashwa) dan keledai pilihan, sehingga memudahkan perjalanan dan perjuangannya. Wajar kan?
Akan tetapi, walaupun kaya, ia tetap bersahaja. Betul-betul bersahaja. Alih-alih bermewah-mewah, ia malah memanfaatkan hampir seluruh hartanya untuk tujuan jihad dan sedekah. Dengan pola hidup sedemikian, maka ketika wafat ia tiada meninggalkan warisan, tiada pula ia meninggalkan utang. Kalaupun ada seseorang yang ia tinggalkan, itu tidak lain tidak bukan adalah Al-Quran dan sunnah.
Jadi, kekayaan sama sekali tidak identik dengan kejahatan, seperti persangkaan negatif banyak orang. Ia bagaikan pisau, yang dapat berdampak buruk atau sebaliknya dapat pula berdampak baik. Yah, bergantung pada siapa yang memegangnya. Satunya isu tunggal yang perlu digarisbawahi di sini hanyalah dari mana dan untuk apa kekayaan tersebut. Hanya itu. Dan Nabi Muhammad telah menunjukan semuanya, dari A sampai Z. Betul-betul semua.
Melalui cuplikan kisah tadi, pahamlah kita bagaimana Nabi Muhammad mengelola kekayaan, betapa ia menjadikan kekayaan itu sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Sekurang-kurangnya ada tiga tujuan yang sama sekali tidak boleh diabaikan dan dilalaikan oleh manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya, baik dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, ibadah (kepada Allah). Kedua, khalifah (bermanfaat bagi sesama). Ketiga, dakwah (teladan bagi sesama).
Perlu pula diresapi betul-betul bahwa pada dasarnya manusia memang makhluk yang ingin untung. Akan tetapi, itu sama sekali bukan salah kita. Pasalnya, yang Maha Pencipta-lah yang mengajari kita demikian. Betulkan? Dia yang menjanjikan surga, Dia pula yang menjanjikan pahala. Dengan demikian pada akhirnya, mencari untuk menjadi naluri kita. Yah, sah-sah saja.
Dalam Al-Quran pun tersurat, “Bilamana Shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah engkau di muka bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya engkau beruntung.” Disambung dengan ayat yang lain, “Kami jadikan siang itu untuk mencari nafkah.” Ada pula ayat lainnya,”Tiada dosa atas engkau untuk memperoleh kekayaan dari Tuhan engkau.”

No comments:

Post a Comment