Masih tentang otak kanan, bila sebelumnya kita membahas “mulailah dengan yang kanan”, berikut dengan sederet inventorinya semisal kreativitas, gurauan, peenceritaan, dan kiasan. Ketahuilah, salah satu kebiasaan Nabi Muhammad adalah pergi dan pulang lewat jalan yang berbeda. Kendati tujuan utamanya untuk menambah silaturahmi, ternyata dampak lainnya menurut kami adalah untuk mengasah kreativitas, salah satu inventori otak kanan.
Selanjutnya, dalam keseharian Nabi Muhammad juga terbiasa dengan gurauan. Ini erat kaitannya dengan kreativitas, erat kaitannya pula dengan otak kanan. Bedanya dengan gurauan orang zaman sekarang, gurauan Sang Nabi tidak berlebihan dan tidak mengelabui. Hanya untuk sekedar menghangatkan suasana. Adapun gurauannya yang paling terkenal adalah tentang ‘anak unta’ dan nenek-nenek di surga’.
Terlepas dari itu, untuk tujuan dakwah, Sang Nabi tidak pernah mengabaikan penceritaan dan kiasan, yang kebetulan dua-duanya juga turunan dari kreativitas dan otak kanan. Seperti yang kita maklum, pesan semata Cuma bisa menyergap sisi rasional manusia. Kalau plus penceritaan dan kiasan? Barulah bisa merangkul sisi emosional manusia. Pesan semata Cuma bisa mengungkapkan. Kalau plus penceritaan dan kiasan? Barulah bisa menghibur sekaligus membujuk.
Beberapa inventori otak kanan lainnya yakni empati, keramahan, keikhlasan, syukur, pemaknaan hidup, visi, imajinasi, intuisi, dan sintesis – yang kami yakin Nabi Muhammad tidak asing dngan itu semua. Selanjutnya, kami hanya akan menyoroti intuisi dan sintesis. Intuisi sendiri dapat diasah dengan sejumlah tehnik. Salah satunya, melalui perenungan dan ketaatan spiritual. Dalam sejarahnya, demi menemukan makna hidup yang sejati, Nabi Muhammad pernah mengasingkan diri dan menjalani perenungan selama bertahun-tahun. Intuisinya jadi terasah karenanya. Kendati setelah menjadi nabi ia selalu dibimbing melalui wahyu, namun intuisinya sendiri sangat tajam terhadap orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.
Uniknya, dalam buku the 100, Michael Hart menobatkan Nabi Muhammad sebagai figur paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia – mengalahkan figur besar mana pun. Menurut kami, sekurang-kurangnya ada dua alasan untuk itu. Pertama, Sang Nabi menerapkan sintesis. Kedua, Sang Nabi menerapkan metode duplikasi.
Ia menerapkan sintesis, maksudnya ia menempatkan dirinya sebagai generalis. Buktinya, seorang Muhammad pernah menjadi penggembala, pernah pula menjadi enterpreneur. Pernah menjadi orang miskin, pernah pula menjadi orang kaya. Pernah menjadi orang biasa, pernah pula menjadi nabi. Pernah menjadi panglima perang, pernah pula menjadi kepala negara. Pernah menjadi bujangan, pernah pula menjadi kepala rumah tangga. Dialah satu-satunya nabi yang memiliki rentang pengalaman sedemikian luas sehingga layak diteladani oleh siapa pun.
Ia menerapkan metode duplikasi, maksudnya ia memilih cara-cara yang sangat alami, sangat manusiawi, bisa diteruskan, dan bisa ditiru (duplicability), baik sebagai nabi, enterpreneur, panglima perang, kepala negara, maupun kepala rumah tangga.
Mari kita amati dan cermati satu per satu. Sebagai nabi, ia ditugaskan untuk menyampaikan kebenaran kepada umat. Lantas, cara apa yang ia pilih? Tidak dengan memperlihatkan mukjizat-mukjizat khas nabi, semisal memerintah jin, membelah lautan, atau menghidupkan orang mati, ia malah menggelar dialog dengan umatnya. Tentu, cara ini dapat diikuti oleh ustadz-ustadz di kemudian hari.
Demi menjadi enterpreneur yang berhasil, ia menjaga mutu, ia memelihara amanah, ia memegang janji. Bukan mengandalkan mukjizat-mukjizat khas nabi. Demi menjadi panglima perang yang berhasil, ia berlatih, ia bersiasat, ia berjuang. Bukan mengandalkan mukjizat-mukjizat khas nabi. Demi menjadi kepala negara yang berhasil, ia berempati, ia bervisi, ia bersinergi. Bukan mengandalkan mukjizat-mukjizat khas nabi. Jadi, ia memastikan seluruh pendekatan-nya – tanpa terkecuali – sangat alami, sangat manusiawi, dapat di teruskan, dan dapat ditiru oleh segenap manusia.
Dan bersabdalah Sang Nabi suatu ketika, “Setiap Orang Adalah Pemimpin”. Itu artinya, setiap orang adalah teladan. Karena kami percaya sepenuhnya, kepemimpinan yang baik hanya dapat di capai melalui keteladanan yang baik. Tidak perlu di pertikaikan lagi, dengan sintesis dan metode duplikasi, Sang Nabi adalah teladan yang tiada duanya.